DEMOKRASI

A. Hakekat Demokrasi
Kata demokrasi seringkali terdengar di telinga kita. Kata demokrasi digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti demokrasi ekonomi, demokrasi dalam politikdemokrasi dalam pemerintahan, dan sebagainya. Namun, tahukah kamu apa artinya demokrasi tersebut?
Untuk memahami demokrasi dan penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ikutilah penjelasan di bawah ini.
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratien yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Dapat dikatakan bahwa hakekat pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 
Di Yunani sendiri pelaksanaan demokrasi ini dilakukan secara langsung. Artinya setiap warga negara terlibat langsung dalam membicarakan semua masalah di dalam polis. Penerapan demokrasi berawal dari Solon, pemimpin masyarakat Athena mengumpulkan warga negara Athena dalam amphiteater untuk bersidang dan membicarakan permasalahan di dalam polis. Sistem ini terus dikembangkan oleh Pericles setelah perang Yunani dan Persia berakhir. Dengan sistem demokrasi ini, Athena berkembang menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan sipil di Yunani.

B. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa azas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudaya­an Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
Sistim demokrasi yang terdapat di negara-kota (city state) Yu­nani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke·3 S.M.) merupakan demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerin­tahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demo­krasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu negara-kota). Lagipula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).
Memasuki Abad Pertengahan (600-1400) gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat. Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spirituilnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari su­dut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar) (1215). Magna Charta merupakan semacam kontrak. an­tara beberapa bangsawan dan Rlija. John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun diang­gap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan di Eropa Barat pada permulaan abad ke-16 muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern, maka Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kulturil yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya.  
Sesudah berakhirnya Abad Pertengahan antara 1500-1700 lahirlah negara-negara Monarcchi. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas takhtanya berdasarkan konsep ”Hak Suci Raja” (Divine Right of Kings). Raja-raja yang terkenal di  Spanyol ialah Isabella dan Ferdinand (1479- 1516). di Prancis  raja-raja Bourbon dan sebagainya. Kecaman-kecaman ..diontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengauruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta mutu pen­didikan.  
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasar  suatu teori rasionalistis, yang umumnya dikenal sebagai social-contract (kontrak sosiaI). Salah satu azas dari gagasan kontral sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal: artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Natural Law (Hukum Alam, ius- naturale). Unsur uni­versalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah politik. Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentu­annya mengikat kedua belah fihak. Kontrak sosial menentukan di satu fihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menye­lenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di fihak lain rakyat akan mentaati pemerintahan raja asal hak· hak alam itu terjamin.  
Pada hakekatnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetap­kan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagas­an. ini antara lain John Locke dari Inggris (I632-1704) da Montesquieu dari Perancis (1689-) 755). Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk memiliki (life, liberty and property). Montes­quieu mencoba menyusun suatu sistim yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah trias politicaIdee-idee bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan yang tersebut di atas tadi maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi men­dapat wujud yang konkrit sebagai program dan sistim politik. Demokrasipada tahap ini semata-mata bersifat politis dan men­dasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warganegara (univer­sal suffrage)
Dalam abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 lahirlah gagasan mengenai demokrasikonstitusional. AhIi ­hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Oleh Stahl disebut empat Unsur­ Rechtsstaat (negara demokrasi yang berdasarkan hukum) dalam arti klasik, yaitu:
1)     Adanya perlindungan hak-hak manusia
2)     Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak- hak itu
3)     Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan
4)     Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Unsur-unsur Rule of Law dalam arti yang klasik, seperti yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup:
  1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
  2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). DaliI ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
  3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

C. Macam-macam Demokrasi
Beberapa macam demokrasi yang berkembang di dunia, antara lain:
1)  Demokrasi Parlementer
Di dalam sistem parlementer, kekuasaan legislatif terletak di atas kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, menteri-menteri kabinet harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada Dewan/DPR/Senat. Pemerintah setiap saat dapat dijatuhkan oleh Dewan/DPR/Senat dengan mosi tidak percaya.
2)  Demokrasi Liberal
Dalam system liberal, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipisahkan (sparate of power atau pemisahan kekuasan). Kepala negara / presiden langsung dipilih oleh rakyat (contoh Amerika Serikat). Dalam demokrasi liberal pemerintah dipegang oleh partai yang menang dalam pemilihan umum, sedangkan partai yang kalah menjadi pihak oposisi.
3)  Demokrasi Rakyat
Demokrasi ini terdapat dalam negara-negara komunis yang totaliter. Lembaga-lembaga demokrasi pada umumnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena kekuasaan ada di tangan sekelompok kecil pimpinan partai komunis. Mereka ini yang memegang dan mempergunakan kekuasaan menurut ideologi totaliter komunis. Dalam demokrasi rakyat, pada dasarnya rakyat tidak memperoleh hak yang lazimnya di dapat dalam sistem demokrasi lainnya.
4.  Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. DalamDemokrasi Pancasila sangat diharapkan adanya musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi, bila tidak tercapai mufakat, pengambilan keputusan dapat ditempuh melalui pemu­ngutan suara (Pasal 2, Ayat (3), WD 1945). Dalam demokrasi Pancasila tidak mengenal dominasi mayoritas ataupun tirani minoritas. Domiinasi mayoritas adalah kelompok besar yang menguasai segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengabaikan kelompok yang kecil. Tirani minoritas adalah kelompok kecil yang menguasai segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengabaikan kelompok besar.
Keunggulan demokrasi Pancasila dibanding dengan demokrasi lainnya sebagai berikut.
  1. Adanyaa penghargaan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak minoritas tidak akan diabaikan.
  2. Mendahulukan kepentingan rakyat, dalam hal ini hak rakyat diakui dan dihargai.
  3. Mengutamakan musyawarah untuk mufakat, dan baru kemudaian menggunakan suara terbanyak
  4. Kebenaran dan keadilan selalu dijunjung tinggi.
  5. Mengutamakan kejujuran dan iktikad baik.
Sedangkan dilihat dari pelaksanaannya  dikenal ada dua macam demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan).
  1. Demokrasi langsung, adalah suatu sistem demokrasi yang melibatkan seluruh rakyatnya dalam membicarakan atau menentukan segala unsur negara secara langsung. Demokrasi langsung pernah dipraktikan pada zaman Yunani kuno; yaitu beberapa negarakota di Athena. Demokrasi yang pertama di dunia ini mampu melaksanakan demokrasi langsung dengan suatu majelis yang mungkin terdiri dari 5000 sampai 6000 orang dan berkumpul di satu tempat untuk melaksanakan demokrasi langsung.
  2. Demokrasi tidak langsung atau perwakilan, adalah suatu sistem demokrasi yang dalam menyalurkan aspirasinya, rakyat memilih wakil-wakil untuk duduk dalam suatu lembaga parlemen atau lembaga perwakilan rakyat. Lembaga ini dipilih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, karena itu dalam demokrasi tidak langsung semua rakyat turut serta dalam membicarakan dan menetapkan kebijakan tentang persoalan-persoalan  negara.
C.  Perwujudan Demokrasi Pancasila dalam Bidang Politik, Ekonomi, dan Sosial.
Untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila kita terlebih dahulu harus memahami nilai-nilaidemokrasi. Nilai-nilai demokrasi yang perlu dikembangankan dalam suatu masyarakat yangdemokratis menurut Henry B. Mayo (dalam Miriam Budiardjo; 1986:62-63) adalah  sebagai berikut;
  1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Dalam setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan, yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan harus dapat diselesaikan melalui perundingan dan dialog terbuka untuk mencapai kompromi, konsensus, atau mufakat. Apabila kompromi tidak tercapai, maka ada bahaya, karena keadaan ini dimungkinkan akan mengundang kekuatan-kekuatan dari luar untuk campur tangan dan memaksakan dengan kekerasan tercapainya kompromi.
  2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Perubahan sosial terjadi karena beberapa faktor, seperti kemajuan teknologi, kepadatan penduduk, dan pola perdagangan. Pemerintah harus dapat menyesuaikan kebij::tksanaannya kepada perubahan-perubahan ini dan dapat mengendalikannya. Sebab kalau perubahan tidak dijamin oleh pemerintah, maka sistem demokratis tidak dapat berjalandan akan muncul sistem diktatur.
  3. Menyelenggarakan pergantian pimpman secara teratur. Dalam masyarakat demokratis, pergantian pimpinan atas dasar keturunan, mengangkat diri sendiri, coup d 'etat dianggap tidak wajar.
  4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum. Golongan minoritas yang  biasanya akan terkena paksaan akan lebih menerimanya apabila diberi kesempatan untuk turut serta dalam merumuskan kebijaksanaan.
  5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman. Keanekaragaman ini tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, dan tingkah laku.
  6. Untuk hal ini perlu terselenggaranya masyarakat yang terbuka dan kebebasan politik yang memungkinkan timbulnya fleksibelitas dan tersedianya berbagai altematif dalam tindakan politik. Namun demikian keanekaragaman tetap berada dalam kerangka persatuan bangsa dan negara.
  7. Menjamin tegaknya keadilan. Dalam masyarakat demokratis keadilan merupakan cita-cita bersama, walaupun sebagian kecil masyarakat ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Keadilan masyarakat yang dibangun hendaklah keadilan dalam jangka panjang dan melingkupi seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Perwujudan Demokrasi Pancasila dapat dilihat antara lain dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.
a)  Dalam Bidang Politik
Oleh karena Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan maka kebijak dijalankan oleh para wakil rakyat dalam menetapkan berbagai kebijakan peme­rintahan dalam bentuk peraturan perun­dangan.
Dalam melakukan tugasnya, para wakil rakyat harus mampu memikirkan, memperhatikan, dan mempertimbangkan aneka-ragam kepentingan rakyat agar keputusan-keputusan yang diambilnya benar-benar mencerrninkan aspirasi selu­ruh lapisan masyarakat dan benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan bersama.
Tentu tidak hanya wakil rakyat yang harus menjalankan kebijaksanaan dalam melaksanakan tugasnya. Semua penye­lenggara negara (para penegak hukum, presiden, wakil presiden, para menteri, para anggota DPR, para anggota BPK, dan seluruh aparat pemerintahan lain, baik di pusat maupun di daerah) wajib menjalan­kan atau menunaikan tugasnya dengan penuh hikmat kebijaksanaan.

b) Dalam Bidang Ekonomi
Pancasila dan UUD 1945 menggaris­kan dua prinsip pokok demokrasi ekono­mi. Prinsip itu adalah sebagai berikut.
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar semangat keke­luargaan.
2) Segala hal yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besamya kemakmuran rakyat
Dua prinsip pokok ini menunjukkan bahwa kemakmuran seluruh rakyat harus menjadi tujuan utama pelaksanaan Demo­krasi Pancasila dalam bidang ekonomi Oleh karena itu, tidak diperbolehkan se­orang pun menguasai bidang-bidang eko­nomi yang menguasai hajat (kepentingan) orang banyak. Perlulah digariskan peme­rataan kesempatan-kesempatan ekonornis dan kesejahteraan bagi setiap warga bangsa ini. Itu semua hanya bisa dicapai apabila semua pihak menggunakannya sebagai pedoman dalam bersikap maupun berkiprah dalam pereekonomian bangsa dan dan negara Inonesia.

c) Dalam Bidang Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat, De­mokrasi Pancasila menggariskan penting ”hikmat kebijaksanaan" sebagai pe­nuntut hubungan  antar manusia Indonesia dengan bangsa lain.
Dengan demikian, bukan hanya wakil rakyat atau pejabat/aparat pemerintah yang dituntut untuk selalu meng­unakan hikmat kebijaksanaan dalam mengusrus kepentingan bersama. Seluruh bangsa Indonessia baik anak dan orang tua dalam keluarga, warga dan pengurus RT dan RW, murid, guru, kepala sekolah dan warga sekolah lainnya di sekolah, maupun kemasyarakatan, partai politik, instansi pemerintah, perusahaan, Dewan Perwakilan Rakyat, untuk dituntut melakukannya..


D.  Perwujudan Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana kita mampu selalu bertindak bijaksana dalam berbagai aspek Demokrasi Pancasila? Syarat utama agar kita mampu ber­tindak bijaksana adalah meyakini prinsip bahwa pada hakikatnya setiap orang harkat dan martabatnya yang sama. Dengan prinsip itu, kita dapat memberikan perlakuan dan penghormatan yang sama bagi setiap orang. Oleh karena prinsip persamaan kedudukan haruslah dijunjung tinggi. ­
Dengan memegang teguh prinsip tersebut, kita menjadi lebih mampu untuk mengendalikan diri agar tidak bertindak, bersikap maupun bertutur kata secara tidak bijaksana. Kita pun akan mampu untuk lebih bertenggang rasa dengan orang lain.
Kebijaksanaan hendaknya dijunjung tinggi baik dalam hubungan sosial antar­warga masyarakat, dan dalam penye­lenggarakan kehidupan politik, maupun ekonomi negara. Dalam penyelenggaraan kehidupan politik, apabila tidak ada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya, maka kehidupan politik akan kacau. Semua orang akan menghalalkan segala cara untuk men­dapatkan dan menggunakan kekuasaan yang ada.
Begitu pula dalam bidang ekonomi. Akan terjadi korupsi, penyalahgunaan wewenang dan tindak kejahatan ekonomi lain pun akan bermunculan bila tidak ada kebijaksanaan yang melingkupinya. Prinsip kebijaksanaan sangat penting dalam pengelolaan hidup berbangsa dan bernegara. Kebijaksanaan menjaga ke­utuhan bangsa dan mewujudkan kesejah­teraan bersama.
Kebijaksanaan itu hendaknya dilandasi oleh sikap menghormati persamaan harkat dan martabat sesamanya dan tenggang rasa dengan orang lain.
Dengan mengakui persamaan kedu­dukan orang lain, kita akan selalu memi­mirkan, mempertimbangkan, dan memperhatikan kepentingan orang lain pada saat menangani masalah bersama. Bahkan dalam menjalani hidup pribadipun, kita terdorong untuk melakukan hal yang sama.
Untuk melaksanakan Demokrasi Pan­casila dalam kehidupan sehari-hari kita hendaknya mengamalkan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Adapun bentuk-bentuk pengamalan yang dapat kita lakukan antara lain sebagai berikut.
  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, kita hendaknya menya­dari setiap manusia Indonesia mem­punyai kedudukan, hak dan kewa­jiban yang sama.
  2. Kita hendaknya tidak boleh memaksa­kan kehendak kepada orang lain.
  3. Kita hendaknya mengutamakan musyawarah dalam mengambil kepu­tusan untuk kepentingan bersama .
  4. Kita hendaknya menyadari bahwa musyawarah untuk mencapai mu­fakat diliputi oleh semangat keke­luargaan.
  5. Kita hendaknya menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musya­warah.
  6. Kita hendaknya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
  7. Kita hendaknya menyadari bahwa di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepen­tingan pribadi atau golongan.
  8. Kita hendaknya menyadari bahwa musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, men­junjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

E.  Budaya Demokrasi
Biasanya kita mendengar bahwa sebelum para wakil rakyat mengambil kebijakan/keputusan, ia melakukan musyawarah dengan rakyat untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan atau aspirasi rakyat. Para wakil rakyat melakukan musyawarah dengan penguasa untuk menentukan apa yang harus dilakukan sebagai tanggapan atas aspirasi rakyat tersebut. Mekanisme musyawarah itu dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan atau menyampingkan aspirasi elemen rakyat tertentu. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat nantinya merupakan kebijakan yang aspiratif dan didukung oleh rakyat.
Secara sederhana, cara-cara seperti inilah yang disebut cara atau perilaku yang demokratis. Jika perilaku-perilaku seperti ini terus menerus dijalankan dan menjadi bagian yang terpisahkan dari setiap proses politik masyarakat, maka kita menyebutnya sebagai budaya demokrasi. Dengan demikian, dapatlah kita katakan bahwa budaya demokrasi adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang demokratis dan dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Budaya demokrasi terlihat atau tergambar dari perilaku­-perilaku (politik) demokratis yang ditunjukkan oleh anggota masyarakat. Perilaku-perilaku demokratis itu antara lain menghargai perbedaan, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, mengutamakan musyawarah untuk menyelesaikan setiap persoalan, menghormati setiap keputusan yang telah menjadi kesepakatan atau konsensus bersama, memberi kesemapatan yang sama kepada setiap orang untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin, memilih pemimpin dengan jujur, bebas dan adil, menyalurkan aspirasi melalui lembagai-lembaga atau saluran-saluran politik yang telah disepakati bersama.
Dalam ilmu politik, budaya politik umumnya dibedakan atas tiga, yakni budaya politik parokialbudaya politik kaula, dan budaya politik partisipan. Dalam budaya politik parokial(parochial political culture), anggota masyarakat tidak menaruh minat terhadap objek politik yang luas kecuali dalam batas tertentu, yakni terhadap tempat di mana ia terikat secara sempit, seperti yang menyangkut kegiatan mencari makan. Budaya politik seperti ini umumnya terjadi dalam masyarakat tradisional di mana tingkat diferensiasi atau spesialisasi masih sangat kecil. Namun demikian, masyarakat ini menyadari adanya pusat kekuasaan politik dalam masyarakatnya.
Dalam budaya politik kaula (subject political culture), anggota masyarakat memiliki minat, perhatian, mungkin pula kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap outputnya. Sementara perhatian terhadap aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik sama sekali rendah. Orientasi mereka yang nyata terhadap objek politik dapat terlihat dari pernyataannya baik berupa kebanggaan, dukungan atau sikap bermusuhan terhadap sistem terutama dari segi outputnya. Masyarakat ini umumnya merasa dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah sistem. Oleh karena itu, mereka umumnya menyerah saja kepada segala kebijakan para pemegang kekuasaan di masyarakat.
Dalam masyarakat yang memiliki budaya politik partisipan (participant political culture),seseorang menganggap dirinya atau orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. la menyadari setiap hak dan tanggung jawabnya dan berusaha merealisasikan hak dan tanggung jawabnya itu. la tidak menerima begitu saja atau tunduk saja terhadap keadaan karena ia merupakan salah satu mata rantai aktif, betapa pun kecilnya, dalam proses politik baik dari segi input, proses pengelolaannya, dan outputnya. la berperan aktif dalam proses politik yang terjadi dalam masyarakatnya.
Dalam budaya politik parlisipan inilah perilaku-perilaku demokratis akan berkembang. Anggota masyarakat yang aktif dan merasa menjadi bagian dari sebuah proses politik akan cenderung menolak setiap proses politik yang tidak melibatkan dirinya dan elemen lainnya. la juga cenderung akan menolak setiap proses politik yang  tidak dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati bersama. la juga tidak mau tunduk begitu saja tetapi akan selalu mengkritisi setiap kebijakan yang tidak aspiratif. Singkatnya, ia akan cenderung menolak setiap proses politik yang tidak demokratis.
Dalam masyarakat yang menghargai demokrasi ini akan tersedia saluran-saluran serta mekanisme partisipasi masyarakatnya. Saluran-saluran itu antara lain adalah parlai politik, lembaga perwakilan, dan saluran ekspresi lainnya seperti media massa.

F.  Dasar Hukum Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Secara yuridis pelaksanaan demokrasi di Indonesia merupakan impelentasi sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 terutama dalam rangka penerapan konsep ”kedaulatan ada di tangan rakyat.” Oleh karena itu yang menjadi landasan pokok pelaksanaan Demokrasi di Indonesia adalah:
a.  Pembukaan UUD 1945
Alinea keempat yang menyatakan bahwa; ” .... maka disusunlah kemerdekaaan kebangsaan indonesia itudalam suatu Undang-Undang dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyatKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
b.  Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
”Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
c.  Pasal 28 UUD 1945
”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
d.  Pasal 28E UUD 1945 ayat 3
”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Selain landasan di atas, pelaksanaan demokrasi di Inonesia juga didasarkan atas UU Pemilu, UU Pers, UU Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di muka umum, dan berbagai Undang-Undang lain yang secara subtansial mengandung muatan sebagai implementasi sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat.

G.   Asas dan Ciri Negara Demokrasi
Negara/pemerintahan yang demokrasi memiliki dua asas pokok, yaitu:
  1. pengakuan akan hakekat dan martabat manusia, misalnya perlindungan dari pemerintah terhadap  hak asasi manusia demi kepentingan bersama;
  2. pengakuan peran serta rakyat dalam pemerintahan, misalnya hak rakyat memilih wakil-wakil rakyat secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Sedangkan ciri kehidupan masyarakat yang demokratis di bawah Rule of Law menurut Miriam Budiardjo (1986) adalah:
  1. adanya perlindungan konstitusional, dengan pengertian, bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk mempereh perlindungan atas perlindungan at as hak-hak yang dijamin,
  2. adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak
  3. adanya pemililihan umum yang bebas,
  4. adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat,
  5. adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, dan
  6. adanyan pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Pandangan lain dikemukakan oleh Lyman Tower Sargent (1987:29), bahwa unsur-unsur kunci demokrasi adalah:
  1. Keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik,
  2. Tingkat persamaan hak di antara warga negara,
  3. Tingkat kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan pada  warga negara,
  4. Sistem perwakilan, dan
  5. Sistem pemilihan dan ketentuan mayoritas.
Lalu bagaimana ciri negara yang demokratis? Sebuah negara demokratis selain harus mengembangkan ciri-ciri atau prinsip di atas; neagara demokratis harus memiliki ciri-ciri:
1)     Adanya pandangan, bahwa warga negara (rakyat) harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langgsung maupun melalui perwakilan. Asumsi pokok pandangan ini, bahwa rakyat harus mempunyai hak untuk membahas kebijaksanaan negara mengenai hal-hal yang dilakukan atas nama rakyat. Keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik  dipandang baik bagi rakyat, sebab dengan demikian rakyat merasa ikut bertanggung jawab terhadap kebijakan yang ditetapkannya dan akan melaksanakan kebijakan itu.
2) Adanya persamaan hak. Persamaan hak mengandung  beberapa jenis persamaan hak, seperti persamaan hak politik, persamaan di depan hukum, persamaan kesempatan, persamaan ekonomi, dan persamaan sosial.
Dengan mengasumsikan adanya sistem perwakilan, persamaan hak politi­k meliputi hak untuk memilih dalam pemungutan suara dan persamaan kesanggup untuk dipilih mendudukijabatan politik. Persamaan untuk memilih dalam pemungut suara berarti, bahwa (l) setiap individu harus mempunyai akses yang mudah tempat pemungutan suara, (2) setiap orang harus bebas memberikan suaranya, dan (3) setiap suara harus diberikan nilai yang sama sewaktu diadakan perhitungan suara Persamaan dalam kesanggupan untuk dipilih menduduki jabatan politik berart·. bahwa setiap orang yang mempunyai suara dapat dipilih menduduki jabatan politi: walaupun untuk jabatan tertentu biasanya ada kualitikasi tertentu.
Persamaan di depan hukum menetapkan, bahwa semua orang akan diperlakun ­dengan cara yang sama oleh sistem hukum. Dalam penerapan prinsip ini, seseorang akan mendapatkan jaminan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku. Hakikat ­hukum adalah suatu kekuatan yang berfungsi untuk meletakkan kedudukan seseorang (masyarakat) secara adil dan jujur.
Persamaan kesempatan berarti, setiap orang di masyarakat diperkenankan untuk naik atau turun dalam sistem kelas atau dalam sistem status tergantung pada kesanggupan dan penerapan kesanggupan dari setiap orang. Dalam penerapan prinsip ­ini tidak ada penghambat bagi seseorang untuk mencapai beberapa kesanggupan dan  ­keuntungan dari kerja kerasnya.
Persamaan ekonomi dapat diartikan, bahwa setiap orang dalam suatu masyarakat  harus mempunyai jaminan pendapatan yang sama. Artinya sistem penghargaaan ­ekonomi yang sama, sehingga masing-masing individu dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang diinginkannya. Setiap individu harus mendapatkan jaminan ekonomi ­minimum, sebab ketimpangan ekonomi akan mempengaruhi jalannya sistem demokrasi. Tingkat kemiskinan yang ekstrem akan sangat menghambat kemmampuan seseorang untuk mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat.
3)     Adanya kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan dan dimiliki oleh warga negara. Kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan pada atau dipertahankan dan dimiliki oleh warga negara serng dinamakan hak alamiah atau hak asasi manusia. Hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara, seperti hak untuk memilih, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan beragama, kebebasan dari perlakukan semena-mena oleh sistem politik dan hukum, kebebasan bergerak, dan kebebasan berkumpul dan berserikat
4)     Adanya sistem perwakilan. Sistem perwakilan sebagai ciri negara demokrasi dilaksanakan karena demokrasi langsung hanya berfungsi efrektif dalam suatu negara yang wilayah negaranya kecil dan jumlah penduduknya sedikit. Sistem perwakilan berarti rakyat diwakili oleh sejumlah orang untuk merumuskan kebijakan yang diinginkan oleh rakyat. Wakil rakyat adalah representasi rakyat.
5)     Adanya sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum sebagai ciri negara demokrasi dilaksanakan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan. Dalam pemilihan umum hendaklah dilaksanakan secara jujur dan adil, sehingga pejabat kelembagaan negara yang dipilih merupakan orang-orang yang memiliki integritas dan berkualitas untuk mengemban jabatan negara yang nantinya akan menjamin pelaksanaan pelayanan  kepada masyarakat ddengan baik. Pada sisi lain mayoritas kekuatan politik tetap memberi kesempatan  kepada kekuatan politik minoritas untuk bersama-sama membangun bangsa dan

H.  Demokrasi yang Pernah Berlaku di Indonesia
Dasar demokrasi ialah bahwa semua manusia sebagai anggota masyarakat adalah bebas dan sama haknya. Alam demokrasi membutuhkan aturan yang menjamin tingkah laku yang adil dan saling menghormati.
Pemerintahan demokrasi akan kacau apabila tidak dijalankan atas tata aturan tertentu. Supaya kehidupan bernegara te­tap diselenggarakan secara tertib, peme­rintahan demokrasi perlu dilaksanakan atas dasar aturan. Aturan hidup berde­mokrasi harus ditaati agar kehidupan yang tertib dapat terwujud.

Bangsa Indonesia juga percaya bahwa cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita bersama adalah dengan menjalankan sistem pemerintahan demokrasi. Sila IV Pancasila memberi dasar bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sebagai penja­baran Pancasila, Batang Tubuh UUD 45 juga mengatur pokok-pokok sistem pemerintahan demokrasi.
Usaha bangsa Indonesia melaksan; kan pemerintahan demokrasi telah men) alami pasang surut.
1)     Demokrasi di Masa Awal Kemerdekaan
Berdasar DUD 1945 bangsa Indonesia memulai kehidupan kenegaraan dengan mencoba mewujudkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Demokrasi yang dianut adalah demokrasi tidak langsung. Langah yang perlu diambil pada saat itu adalah harus segera membentuk lembaga-lembaga perwakilan rakyak terutama MPR sesuai dengan ayat II Aturan Tambah, UUD 1945, MPR sudah harus terbentuk dalam waktu 6 bulan sesudah kemerdekaan. Sementara lembaga-lembaga negra yang dapat menjadi alat pemerintah demokrasi belum terbentuk, kekuasaan MPR, DPR, dan DPA dijalankan 0leh Presiden, dengan dibantu oleh Komite Nasional.
Kenyataan bahwa selain menjadi kepala negara dan kepala pemerintah, Presiden juga melaksanakan kekuasaan  MPR, DPR dan DPA, menimbulkan kesan bahwa pemerintah Indonesia waktu itu bersifat diktator. Oleh karena itu kemudian diambil langkah-langkah sebagai berikut.
1.  Pemberian wewenang untuk men lankan fungsi legislatif DPR kepa KNIP
Melalui Maklumat Wakil Presiden No X, tanggal 16 Oktober 1945 KNIP diberi wewenang menjalankan fungsi legislatif (DPR). Dapat dikatakan bahwa sejak saat itu KNIP telah menjadi Dewan Penvakil Rakyat (parlemen).
2.  Pemberian kesempatan pada rakyat untuk mendirikan partai politik.
Melalui Maklumat Pemerintah tang­gal 3 Nopember 1945 diumumkan bahwa rakyat diberi kesempatan seluas-Iuasnya l1ntuk mengorganisasikan dirinya ke ::lalam partai-partai politik untuk mem­Jerjuangkan kepentingan mereka. Tujuan Jemerintah ialah agar dengan adanya Jartai-partai itu segala aliran paham yang lda di masyarakat dapat dipimpin ke jalan 'ang teratur.
3.  Mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi parlementer
Melalui Maklumat Pemerintah tanggal14 November 1945 diumumkan bahwa sejak saat itu tanggung jawab pemerin­han ada ditangan para Menteri. Pengal­ihan tanggung jawab pemerintahan itu menunjukkan adanya penggantian sistem pemerintahan. Presiden tidak lagi ber­fungsi sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan dijabat oleh seorang perdana Menteri. Perdana Menteri ber­sama para Menteri itulah mempertang­ngjawabkan pelaksanaan pemerintahan pada KNIP yang berfungsi sebagai DPR. Sistem pemerintahan seperti itu disebut  parlementer.
Selain mengubah sistem pemerintah ­Maklumat Pemerintah di atas sebenarnya juga mengatur rencana penyeleng­aan pemilu dan pembentukan partai­-partai. Dalam kenyataan pemilu belum dapat diilaksanakan waktu itu, namun partai-­partai politik segera terbentuk. Partai-par­tai politik itulah yang menopang jalannya sistem pemerintahan pada waktu itu. Di samping itu bangsa Indonesia menghadapi dua ancaman berat dari dalam negeri yakni sebagai berikut.
a)     Pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat.
b)     Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.
Pemberontakan PKI dapat segera dipadamkan. Pemberontakan DI/TII pada baru  dapat dipadamkan di awal tahun 1960­-an.

2)     Demokrasi Liberal (1950-1959)
Konstitusi RIS mengatur bahwa negara RIS adalah negara demokrasi. Sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Konstitusi RIS adalah sistem parlementer.
Negara RIS tidak berumur lama, hanya berdiri selama ± 8 bulan. Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indone­sia berhasil kembali ke bentuk negara Kesatuan. Menurut UUDS 1950 negara Kesatuan Indonesia yang "baru" juga merupakan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer.
Berbeda dengan masa berlakunya UUD 1945 yang pertama (1945-1949), berlakunya sistem parlementer di masa RIS dan UUDS 1950 bersifat konstitu­sional. Kedua konstitusi itu mengatur berlakunya sistem parlementer di Indo­nesia. Sedangkan berlakunya sistem parlementer di masa UUD 1945 lebih merupakan "penyimpangan".
Masa berlakunya UUDS 1950 disebut juga sebagai masa parlementerisme konstitusional, yaitu masa berlakunya sistem demokrasi parlementer seperti yang diatur konstitusi.
Sistem pemerintahan demokrasi parlementer disebut juga sebagai sistem demokrasi liberal, karena dilandasi oleh paham yang mengagungkan kebebasan manusia (liberalisme).
Cara kerja sistem pemerintahan par­lementer/demokrasi liberal adalah sebagai berikut.
  1. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR dibentuk melalui pemilu yang diikuti oleh banyak partai. Partai- partai politik yang menguasai ma­yoritas kursi DPR membentuk kabinet sebagai penyelenggara pemerintah negara.
  2. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Kabinet/Dewan Menteri yang diben­tuk oleh, dan bertanggung-jawab kepada DPR. Dewan Menteri dikepa­lai oleh seorang Perdana Menteri yang berfungsi sebagai Kepala Pemerin­tahan.
  3. Presiden hanya berfungsi sebagai Kepala Negara.
  4. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas dan merdeka.
  5. Jika DPR menilai Menteri/beberapa Menteri, atau Kabinet tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik, DPR dapat mengajukan mosi tidak percaya.
  6. Menteri/beberapa Menteri yang sudah tidak dipercaya DPR harus mengundurkan diri. Kabinet yang sudah tidak dipercaya oleh DPR harus membubarkan diri.
  7. Jika Kabinet bubar, Presiden akan menunjuk tokoh partai politik yang menguasai mayoritas kursi di DPR untuk menyusun Kabinet baru.
  8. Jika Kabinet Baru itu mendapat mosi tidak percaya lagi dari DPR maka DPR harus dibubarkan. Kemudian diadakan pemilu untuk membentuk DPR yang baru.
Praktek pelaksanaan demokrasi liberal menimbulkan ketidakstabilan politik. Kabinet sering berganti-ganti. Selama masa demokasi liberal telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet. Kabinet-kabinet itu adalah sebagai berikut.
1)     Kabinet Natsir.
2)     Kabinet Soekiman.
3)     Kabinet Wilopo.
4)     Kabinet Ali Wongso
5)     Kabinet Burhanuddin Harahap.
6)     Kabinet Ali dan.
7)     Kabinet Djuanda.
Kondisi negara Indonesia sejak tahun 1957 mulai "rawan". Konstituante yang mencapai kesepakatan mengenai dasar negara. Terjadi pula pemberontakan-pemberontakan di daerah, yaitu PRRI  di Sumatra dan Permesta di Sulawesi. Atas desakan beberapa pihak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dengan Dekrit itu dinyatakan bahwa mulai tanggal 5 Juli 1959, UUD 1945 berlaku kembali.

3)     Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Gagasan demokrasi terpimpin sebagai pengganti demokrasi liberal, sudah dikemukakan Presiden Soekarno sejak bulan Februari 1957. Soekarno berpendapat bahwa harus diciptakan suatu sistem demokrasi yang menuntun orang untuk mengabdi kepada kepentingan negara, mengabdi kepada bangsa, dan demokrasi yang beranggotakan orang-orang jujur. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan berikut.
  1. Mengganti sistem free fight liberali dengan demokrasi terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadan  bangsa Indonesia.
  2. Membentuk lembaga Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang akan membuat rancangan usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
  3. Konstituante (badan pembentuk UUD/Konstitusi) harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian rancangan yang dibuat Depernas dapat didasarkan pada  UUD / Konstitusi baru yang dibuat oleh Konstituante.
  4. Penyederhanaan sistem kepartaian
Pengertian demokrasi terpimpin me­nurut Soekarno adalah "demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan ".
Tampak bahwa konsep demokrasi terpimpin sesungguhnya baik, karena didasarkan pada Pancasila. Demokrasi terpimpin dimaksudkan untuk mengo­reksi praktek demokrasi liberal yang terlalu mengutamakan kebebasan dan ternyata kurang menguntungkan bangsa Indonesia. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945, demokrasi terpimpin segera dijalankan.
Pelaksanaan demokrasi terpimpin ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Penyimpangan-penyimpangan itu memperihatinkan pihak-pihak yang setia pada cita-cita mewujudkan de­mokrasi berdasarkan UUD 1945.
Meskipun terancam oleh tindakan sewenang-wenang penguasa, berbagai tokoh politik terus melakukan perjuangan. Pihak ABRI juga terus melakukan kegiatan politik untuk menegakkan DUD 1945.
Masa demokrasi terpimpin berakhir dengan tragis. PKI mulai menyetir Pre­siden ke arah pembentukan negara komu­nis. ABRI berupaya mencegahnya. Terjadi usaha pengambil-alihan kekuasaan negara (kudeta = coup de' etat) secara tidak sah oleh PKI melalui Gerakan 30 S/PKI.
Usaha kudeta itu berhasil digagalkan oleh bangsa Indonesia yang tidak ingin melihat negerinya jatuh ke tangan komu­nisme. Kaum pelajar, mahasiswa, ABRI, dan warga partai-partai politik yang anti komunis bahu-membahu menumpas G 30 S/PKI.
Dalam usaha menumpas para pendu­kung G 30 S / PKI serta membangun sistem politik yang lebih baik, mahasiswa melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menggalang demonstrasi besar­-besaran selama kurang lebih 60 hari di Jakarta. Demonstrasi yang dimulai tanggal 10 Januari 1966 itu mengajukan tiga tun­tutan yang dikenal dengan nama TRI­TURA (Tiga Tuntutan Rakyat). Isi Tritura, yaitu sebagai berikut.
1.      Pembubaran PKI
2.      Rombak Kabinet Dwikora
3.      Penurunan harga barang-barang
Keberhasilan usaha penumpasan itu mengantarkan bangsa Indonesia mema­suki masa Orde Baru

4)     Masa Pemerintahan Soeharto (1966-1998)
Pengalaman yang amat menonjol selama masa Demokrasi Terpimpin adalah bahwa penyimpangan terhadap aturan dasar hidup bernegara akan menimbulkan kekacauan atau ketidaktertiban dalam masyarakat dan negara.
Semangat yang menjiwai kelahiran Orde Baru adalah tekad untuk melak­sanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan semangat itu seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara, dan kegiatan hidup bermasyarakat dan berbangsa, seharusnya dijalankan sesuai dengan tat a aturan yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.
Namun demikian semangat itu ternyata sangat sulit untuk dilaksanakan. Selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis justru semakin jauh dari kehidupan bangsa In­donesia. Indonesia justru jatuh menjadi negara yang otoriter/totaliter. Kemer­dekaan pers dibatasi, kebebasan berserikat dan berkumpul dikebiri, pemilu dijalan­kan namun penuh kecurangan. Para pengeritik penguasa dibungkam melalui pembreidelan surat kabar, pengucilan politik atau bahkan penculikan. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merajalela, sehingga menyengsarakan rakyat banyak.
Pemerintahan Soeharto yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa ber­hasil memaksa Soeharto untuk mengun­durkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Pemyataan pengunduran diri itu dilakukan pada tanggal 21 Mei 1998 dan sekaligus mengakhiri masa Orde Baru.

5)     Masa Pemerintahan Habibie (1998-1999)
Mundumya Soeharto diikuti dengan pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden. Sejak saat itu Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie menjadi Presiden RI yang ke-3. Masa pemerintahan Habibie sangat singkat, kurang lebih hanya 18 bulan. Masa itu sering disebut sebagai masa transisi, yaitu masa peralihan dari era pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokrasi.
Selama masa yang singkat itu bangsa Indonesia berhasil menetapkan berbagai peraturan perundangan yang penting bagi pembangunan demokrasi.
Beberapa undang-undang tersebut adalah sebagai berikut.
a)           Undang-Undang RI No. 2/1999 ten­tang Partai Politik
Di dalam undang-undang ini kebe­basan warga negara untuk berserikat dan berkumpul dijamin. Tidak ada pembatasan jumlah parpol, dan setiap parpol dijamin kebebasannya untuk menetapkan asas partai.
b)     Undang-Undang RI No. 3/1999 ten­tang Pemilihan Umum
Kebebasan warga negara untuk mem­berikan suara sesuai hati nurani ma­sing-masing dijamin dalam undang-­undang ini. Baik panitia, saksi mau­pun para pemilih dijamin hak dan kewajibannya sehingga pemilu dijamin dapat berjalan secara demokrat, luber dan jurdil.
c)      Undang-Undang RI No. 4/1999 tetang Susunan dan Kedudukan MPR DPR, dan DPRD
Melalui undang-undang ini kedudukan MPR, DPR maupun DPRD selaku lembaga pengawas eksekutif diperkuat. Masing-masing lembaga legislatif itu dilengkapi dengan hak-hak agar dapat mengontrol jalannya pemerintah negara. Keanggotaan badan legislatif itu juga diatur sehingga tinggal sebagian keeil anggota MPR, DPR dan DPRD yang tidak dipilih melalui pemilihan umum.
Pemilu yang relatif lebih demokratif dan tertib berhasil dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999, dan diikuti oleh partai politik. Melalui pemilu itu dipilih 462 orang calon anggota DPR (38 orang sisanya diangkat dari TNI/Polri). Ke-500 orang itu ditambah dengan 135 orang Utusan Daerah dan 65 orang Utusan Golongan bersama-sama menjadi anggota MPR.
MPR RI hasil Pemilu 1999 kemudian memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Melalui Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/1999 MPR mengangkat K.H. Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI 1999 - 2004. Melalui Ketetapan MPR RI No. VIII/MPR/1999 MPR mengangkat Megawati Soekamo Putri sebagai Wakil Presiden RI 1999 - 2004.

Selain itu, MPR RI juga menetapkan ketetapan-ketetapan MPR sebagai berikut :
  1. Ketetapan Majelis Permusyawara Rakyat Republik Indonesia Nomor II MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
  2. Ketetapan Majelis Permusyawara Rakyat Republik Indonesia Nomor  III/MPR/1999 tentangPertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bucharuddin Jusuf Habibie.
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV / MPR /1999 tentang Garis-Garis Besar HaIuan Negara Tahun 1999 ­2004.
  4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RepubIik Indonesia Nomor V / MPR/1999 tentang Penentuan Pen­dapat di Timor Timur.
  5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RepubIik Indonesia Nomor VI/MPR/1999 tentang Tata Cara PencaIonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indone­sia.
  6. Ketetapan MajeIis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX / MPR /1999 ten tang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusya­waratan Rakyat RepubIik Indonesia untuk meIanjutkan perubahan Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia tahun 1945.
Next
Previous
Click here for Comments

0 komentar: